Sejumlah institusi keuangan di Amerika Serikat berjatuhan, dan berimbas kepada stabilitas perekonomian dunia, dari Asia hingga Eropa. Kebangkrutan lembaga-lembaga keuangan itu belum berakhir, seperti diprediksi sejumlah kalangan.
Dan kini, masih layakkah Negeri Paman Sam menyandang status superpower, setelah negeri itu menjadi korban krisis keuangan?
Menjawab pertanyaan itu, tentu saja para pemangku otoritas di AS masih mengklaim negerinyalah yang paling adidaya, dengan perekonomian yang paling dinamis dan kekuatan militer yang paling unggul.
Namun, lawan-lawan Paman Sam mengklaim sebaliknya, dengan menyebut telah terjadi perubahan dramatis dalam peta kekuatan dunia. Klaim itu merujuk pada perang di Irak dan Afghanistan yang tak berujung dan menghabiskan banyak biaya, disusul pergolakan ekonomi terburuk semenjak resesi pada 1930-an, dan krisis kepercayaan dalam politik dan perekonomian domestik yang terus menggerogoti.
Negara seperti Iran dan Venezuela, misalnya, dengan gembira akan mengatakan inilah akhir dari “kekaisaran”, sementara Rusia membunyikan trompet untuk menyambut kehadiran “dunia multikutub”, dengan kemunculan kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti China dan India.
“Amerika Serikat akan kehilangan status sebagai superpower dalam sistem keuangan global,” kata Peer Steinbruck, menteri perekonomian Jerman, dalam sebuah wawancara bulan lalu.
Peringatan senada disuarakan oleh filosof politik John Gray, yang menulis di The Observer, bahwa dunia saat ini tengah menyaksikan “sebuah perubahan geopolitik yang bersejarah”.
“Periode kepemimpinan Amerika di kancah global sudah berakhir,” tulis Gray.
Terjadinya pergeseran kekuatan ekonomi saat ini memang mulai terasa. Daftar-daftar orang terkaya kini juga diisi nama-nama Rusia, India, dan Meksiko. Para taipan dari emerging country itu kini juga berbisnis di New York dan London. Mereka pun fasih berbahasa Inggris.
Mengenai terjadinya pergeseran kekuatan itu, Nicholas Burns, seorang mantan duta besar dan juru bicara di Departemen Luar Negeri AS yang kini mengajar politik dan diplomasi di Harvard University, Massachusetts, memiliki pandangan berbeda.
“Tidak ada keraguan lagi AS masih menjadi kekuatan global yang dominan,” kata Burns.
“Kekuatan militer kami dan jangkauan politik di luar negeri masih belum tertandingi. Dan, AS masih menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, termasuk dalam hal inovasi, bioteknologi, dan nanoteknologi,” kata Burns kepada AFP.
Meski begitu, Burns mengakui krisis keuangan yang mengguncang Wall Street akan menjadi ancaman besar bagi presiden Negeri Uwak Sam mendatang, baik John McCain maupun Barack Obama.
Sementara Raymond Lotta, seorang penulis berhaluan Marxist dan juga penulis America in Decline mengatakan, krisis kali ini membentang secara global, meledak-ledak, dan tidak dapat diprediksikan.
“Ini bukan ‘sosialisme bagi orang kaya’ atau sebuah penyelamatan bagi masyarakat. Ini adalah kapitalisme yang tengah dalam keadaan darurat bagi orang kaya, dan kapitalisme yang brutal bagi sisanya,” kata dia berpendapat.
Yang pasti, kini dunia masih menanti sejauh apa negeri sedigdaya Amerika Serikat mampu bertahan di tengah goncangan yang luar biasa dahsyat ini. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan, dari dana talangan ratusan miliar dolar, pemangkasan suku bunga, hingga yang terkini pengucuran dana untuk menghidupkan kembali pasar kredit, belum mampu terbukti keampuhannya.
Dan kini, masih layakkah Negeri Paman Sam menyandang status superpower, setelah negeri itu menjadi korban krisis keuangan?
Menjawab pertanyaan itu, tentu saja para pemangku otoritas di AS masih mengklaim negerinyalah yang paling adidaya, dengan perekonomian yang paling dinamis dan kekuatan militer yang paling unggul.
Namun, lawan-lawan Paman Sam mengklaim sebaliknya, dengan menyebut telah terjadi perubahan dramatis dalam peta kekuatan dunia. Klaim itu merujuk pada perang di Irak dan Afghanistan yang tak berujung dan menghabiskan banyak biaya, disusul pergolakan ekonomi terburuk semenjak resesi pada 1930-an, dan krisis kepercayaan dalam politik dan perekonomian domestik yang terus menggerogoti.
Negara seperti Iran dan Venezuela, misalnya, dengan gembira akan mengatakan inilah akhir dari “kekaisaran”, sementara Rusia membunyikan trompet untuk menyambut kehadiran “dunia multikutub”, dengan kemunculan kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti China dan India.
“Amerika Serikat akan kehilangan status sebagai superpower dalam sistem keuangan global,” kata Peer Steinbruck, menteri perekonomian Jerman, dalam sebuah wawancara bulan lalu.
Peringatan senada disuarakan oleh filosof politik John Gray, yang menulis di The Observer, bahwa dunia saat ini tengah menyaksikan “sebuah perubahan geopolitik yang bersejarah”.
“Periode kepemimpinan Amerika di kancah global sudah berakhir,” tulis Gray.
Terjadinya pergeseran kekuatan ekonomi saat ini memang mulai terasa. Daftar-daftar orang terkaya kini juga diisi nama-nama Rusia, India, dan Meksiko. Para taipan dari emerging country itu kini juga berbisnis di New York dan London. Mereka pun fasih berbahasa Inggris.
Mengenai terjadinya pergeseran kekuatan itu, Nicholas Burns, seorang mantan duta besar dan juru bicara di Departemen Luar Negeri AS yang kini mengajar politik dan diplomasi di Harvard University, Massachusetts, memiliki pandangan berbeda.
“Tidak ada keraguan lagi AS masih menjadi kekuatan global yang dominan,” kata Burns.
“Kekuatan militer kami dan jangkauan politik di luar negeri masih belum tertandingi. Dan, AS masih menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, termasuk dalam hal inovasi, bioteknologi, dan nanoteknologi,” kata Burns kepada AFP.
Meski begitu, Burns mengakui krisis keuangan yang mengguncang Wall Street akan menjadi ancaman besar bagi presiden Negeri Uwak Sam mendatang, baik John McCain maupun Barack Obama.
Sementara Raymond Lotta, seorang penulis berhaluan Marxist dan juga penulis America in Decline mengatakan, krisis kali ini membentang secara global, meledak-ledak, dan tidak dapat diprediksikan.
“Ini bukan ‘sosialisme bagi orang kaya’ atau sebuah penyelamatan bagi masyarakat. Ini adalah kapitalisme yang tengah dalam keadaan darurat bagi orang kaya, dan kapitalisme yang brutal bagi sisanya,” kata dia berpendapat.
Yang pasti, kini dunia masih menanti sejauh apa negeri sedigdaya Amerika Serikat mampu bertahan di tengah goncangan yang luar biasa dahsyat ini. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan, dari dana talangan ratusan miliar dolar, pemangkasan suku bunga, hingga yang terkini pengucuran dana untuk menghidupkan kembali pasar kredit, belum mampu terbukti keampuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar